Cerita Motivasi : Kenapa Harus Aku? - "If I were to say, 'God, why me?' about the bad things, then I
should have said, 'God, why me?' about the good things that happened in
my life."-- Arthur Robert Ashe, Jr., petenis profesional asal Amerika,
1943 -1993
Arthur Ashe adalah seorang petenis kulit hitam
legendaris asal Amerika. Prestasinya sungguh luar biasa. Tiga gelar
grand slam, turnamen paling bergengsi tersimpan di lemari kacanya. Gelar
itu adalah US Open (1968), Australian Open (1970), dan Wimbledon
(1975). Sebuah prestasi yang sulit diraih pada masa itu.
Selesai
berkarir di lapangan, dia pun gantung raket. Namun dia bernasib kurang
bagus. Pada 1979, ia terkena serangan jantung. Dokter memutuskan ia
harus operasi by pass. Dua kali operasi dijalankan agar Ashe sembuh.
Tapi bukan sembuh yang didapat. Operasi ternyata membawa bencana lain.
Dari transfusi darah, dia mendapat virus yang sekarang dikenal dengan
nama HIV pada 1983. Pada masa itu, pengawasan terhadap berjangkitnya
virus ini memang masih rendah.
Kenyataan pahit ini ia sembunyikan
kepada publik. Sampai akhirnya, pada April 1992, koran terkemuka USA
Today menurunkan laporannya mengenai kondisi kesehatannya. Sontak publik
pun tercengang. Kebanyakan dari mereka menyayangkan tragedi yang
menimpa petenis yang rendah hati itu.
Sepucuk surat dari seorang
pengagumnya pun sampai ke tangannya. Penggemar itu menyatakan
keprihatinannya. Dalam suratnya, sang penggemar bertanya, "Why did God
have to select you for such a bad disease?". Pertanyaan yang biasa saja,
tapi sungguh dalam, "Mengapa Tuhan memilih kamu untuk menerima penyakit
ini?".
Ashe menjawab, "Begini. Di dunia ini ada 50 juta anak yang
ingin bermain tenis. Di antaranya 5 juta orang yang bisa belajar
bermain tenis. 500 ribu belajar menjadi pemain tenis profesional. 50
ribu datang ke arena untuk bertanding. 5 ribu mencapai turnamen grand
slam. 50 orang berhasil sampai ke Wimbledon. 4 orang sampai di
semifinal. 2 orang berlaga di final. Dan ketika saya mengangkat trofi
Wimbledon, saya tidak pernah bertanya kepada Tuhan, 'Mengapa harus saya?' Jadi
ketika sekarang saya menderita sakit, tidak seharusnya juga saya
bertanya kepada Tuhan, 'Mengapaharus saya?'.
Pada 6 Februari 1993,
Ashe mengembuskan napas terakhirnya. Dua bulan sebelum mengembuskan
napas terakhirnya, Ashe mendirikan the Arthur Ashe Institute for Urban
Health. Dan beberapa minggu sebelum ia wafat, Ashe masih menyempatkan
diri menulis memoarnya yang berjudul 'Days of Grace'. Membaca
ketulusan dan keikhlasan Ashe tidak saja menyentuh, tapi juga mengetuk
hati siapa saja. Penjelasan panjang lebar tentang kemenangan di lapangan
menggambarkan betapa dalam hidup kita hanya ingin mendapatkan hal-hal
yang terbaik belaka dan selalu lupa untuk sekadar berucap syukur atas
karunia itu. Bahkan alih-alih bersyukur, malah kesombongan yang kerap
muncul di saat berada di puncak kejayaan.
Kadang sebaliknya yang
terjadi pada saat kesusahan. Pertanyaan kenapa nasib buruk itu hanya
menimpa pada kita kerap kali menggerundel dari mulut. Seolah-olah
keburukan tidak boleh mampir melintasi dalam perjalanan hidup kita. Saat
menerima cobaan, apa pun, kita bertanya kepada Tuhan 'mengapa saya,
mengapa bukan orang lain?' Sehingga kita merasa berhak menggugat Tuhan.
Bahkan memvonis betapa tidak adilnya Tuhan.
Ashe berbeda. Dia tak
pernah mengeluh dan bertanya 'mengapa harus saya'. Dia tetap teguh dalam
harapan. Seberapa besar pun beban hidup yang menimpa. Baginya, kebaikan
dan keburukan dari Tuhan adalah anugerah yang terindah dalam hidupnya